Wednesday 8 November 2017

Hukum Transaksi Forex Menurut Islam


Fatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan Yang Pasti Ditanyakan Oleh Setiap Trader di Indonesien. 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Trading Forex Diperbolehkan Dalam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari Kita Bahas Dengan Artikel Yang Pertama. Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai Volumen permintaan dan penawarannya. Adanya Permintaan Dan Penawaran Inilah Yang Menimbulkan Transaksi Mata Uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pe mbeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterima kan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh Pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan Kamu Membeli ikan Dalam Luft, Karena Sesungguhnya Jual Beli Yang Demikian Itu Mengandung Penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi Dari Ibnu Masud) Jual Beli Barang Yang Tidak Di Tempel Transaksi Diperbolehkan Dengan Syarat Harus Diterangkan Sifatsifatnya Atau Ciri-Cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi etikett yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, Video Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan krankheit devisa. Misalnya eksportir Indonesien akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesien memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. Setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000 Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. (AWJ Tupanno, et al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesien Nr .: 28DSN-MUIIII2002 Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Schal) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis. B. Bahwa dalam urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. C. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR. Albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Dan Ibn Majah, Dengan Teks Muslim Dari Ubadah Bin Shamit, Nabi sah Bersabda: (Juallah) Emas Dengan Emas, Perak Dengan Perak, Gandum Dengan Gandum, Syair Dengan Syair, Kurma Dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai .. 4. Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, Dan Ahmad, Dari Umar bin Khattab, Nabi sah Bersabda: (Jual-Beli) emas dengan perak adalah Riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat Muslim Dari Abu Said al-Khudri, Nabi sah bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian Atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat Muslim Dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam. Rasulullah sah melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Einheit Usaha Syariah Bank BNI Nr. UUS2878 2. Pendapat Peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional Pada Hari Kamis, Tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (über den Ladentisch) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi VORWÄRTS, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk vorwärts vereinbarung untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil Hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga vorwärts. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah Einheit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIAHukum Labur amp Berniaga Forex (Forex Trading) Zaharuddin Abd Rahman Saya ingin minta pihak ustaz untuk menerangkan tentang pelaburan tukaran matawang asing dan juga perniagaan Forex. Bagaimana pula jika saya melakukan transaksi sendiri dengan berbekalkan analisa sendiri atau yang disediakan oleh broker dengan melayari internet. Kemudian memperolehi untung dari jualan dan belian matawang asing ini. Terima kasih Bagi menjawab soalan ini, unda perlu memahami dua jenis perkara iaitu: - 1 Melabur wang ringgit und ein ke dalam satu syarikat yang memperolehi untung melalui FOREX. 2- Melantik Satu Plattform atau syarikat untuk menjalankan jual beli wang asing dan simpan. Semua transaksi dijalankan oleh und ein sentiri, syarikat hanya menyediakan plattform dan mengambil upah perkhidmatan sahaja. Pertama Hukum bagi melabur dalam syarikat yang menjalankan FOREX: Forex (Foreign Exchange) atau yang lebih dikenal dengan Perdagangan Mata wang Asing Ia merupakan suatu jenis perdagangantransaksi yang memperdagangkan matawang suatu negara terhadap matawang negara lainnya yang melibatkan pasar-pasar matawang utama di dunia selama 24 jam secara Berterusan Benar, memang FOREX matawang adalah diharuskan, tetapi keharusannya tertakluk kepada sejauh mana ia menurut garis panduan yang dikeluarkan dari hadith Nabi yang sohih. Iaitu: - a - Ditukar (serah dan terima) dalam waktu yang sama ia krankheit dalam hadis sebagai yadan bi yadin Dalam Bahasa Inggerisnya Adalah auf der Stelle Basis. Ia datang Banyak hadis antara yang paling utama adalah:. . . . . . . . . Ertinya Emas dengan Emas (ditukar atau diniagakan). Perak dengan perak, gandum dengan gandum, tamar dengan tamar, garam dengan garam mestilah sama timbangan dan sukatannya, dan ditukar secara terus (pada satu masa) dan sekiranya berlainan jenis, maka berjual-belilah kamu sebagaimana yang disukai (Riwayat Muslim, Nr. 4039 Nr Hadith 119). B - Nabi bersabda: - Ertinya. Sesungguhnya Rasulullah s. a.w berkata. Pertukaran antara perak dan emas adalah riba kecuali jika ia dilakukan secara serentak (serah terima dalam satu masa) (Riwayat Muslim, Nr. 1586, 31209) c - Manakala pembelian secara hutang dari salah satu antara dua pihak adalah haram berdasarkan hadis: - Ertinya. Rasulullah s. a.w melarang dari menjual emas dan perak secara berhutang (Riwayat Al-Bukhari, Nr. 2070, 2762) Hadis-hadis di atas menyebut perihal displin Islam dalam pertukaran emas dan perak. Untuk informasi, ulama bersepakat bahawa matawang (Banknote) juga adalah sama displinnya dengan emas dan perak disebabkankan nilai dan fungsinya sebagai Mittel des Austausches. Justeru setiap displin dan syarat transaksi yang melibatkan emas dan perak juga TERPAKAI pada urusan transaksi matwang. Demikian keputusan Majlis Fiqh Antrabangsa dan juga Majlis Kewangan Islam Antarabangsa di bawah AAOIFI. FOREX dalam matawang yang diuruskan oleh syarikat konvional sudah pasti tidak akan menjaga syarat ini kerana kebanyakan FOREX yang dijalankan oleh institusi Konvional adalah lsquoForward FOREX atau Forex Yang menggunakan lsquoValue vorwärts (nilai masa hadapan) yang tergolong dalam Riba Nasiah. Mereka juga kerap menggunakan SWAP, Optionen dan Lain-gelegen Instrument Yang tidak halal di sisi Shariah. Instrumente-instrumen tadi tidak memenuhi syarat Islam iaitu serah terima atau krankheit qabadh dalam Islam secara benar hakiki atau hukmi pada waktu yang sama. Masalah dalam implementasi FOREX adalah bertangguh dalam penyerahan dari kedua-dua pihak. Tatkala itu aqad menjadi batal (Radd al-Muhtar ala ad-durr, 4531). Tidak Saya nafikan, bahawa terdapat sesetengah Institusi Kewangan Islam Yang melakukan forex ini setelah mendapatkan kelulusan Majlis Penasihat Shariah Mereka, Namun semua Mereka hanya terlibat dalam FOREX jenis SPOT dan bukannya jenis lsquoForward jika adapun jenis vorwärts ia menggunakan konsep Al-WAD atau Einseitige Versprechen dan ia Telah disepakati keharusannya Apa Yang Pasti, Majlis Shariah mereka telah meletakkan beberapa syarat dan bukannya secara bebas betitu sahaja. Justeru MELABUR MODAL (BEERTI ANDA MELABUR DAN KEMUDIAN TUNGGU UNTUNG SAHAJA) dan di dalam institusi kewangan konvional yang memperolehi untung melalui cara FOREX adalah tidak halal di sisi Islam. Ia adalah keputusan Panel Penasihat Shariah dunia yang bernaung di bawah nama Accounting amp Auditing Organisation für islamische Institutionen (AAOIFI). Antara-Paneel Penasihat Shariahnya Adalah Syeikh Mufti Taqi Uthmani, Prof. Dr. Syeikh Wahbah Zuhayli, Prof. Dr. Syeikh Siddiq Dharir, Syeikh Abdullah al-Mani, Dr. Abd Sattar Abu Ghuddah, Syeikh Dr. Nazih Hammad, Syeikh Dr. Hussain Hamid Hassan, Syeikh Nizam Yaquby, Dr. Mohd Daud Bakar, Syeikh Al-Ayashi al-Sadiq Faddad, Syeikh Dr. Ajil Nashmi dan ramai lagi. KEDUA. Hukum FOREX TRADING yang dijalankan sendiri - Bagi mengetahui hukum bagi bentuk kedua ini, pertama-tamanya ia tertakluk kepada: - a - Terdapat unsur judi atau tidak apabila membeli dan menjual matawnag hanya kerana mengharap keuntungan dari perbezaaan nilainya. Bukan kerana digunapakai di negara matawang terbabit. Maka setelah kajian perinci oleh JAKIM dan ISRA, mendapati unsur judi adalah wujud maka semua jenis forex handel adalah HARAM. B - Kesohihan dan kewibawaan syarikat Plattform dari sudut lesennya dan pengenalannya. Ia diperlukan bagi mengelak und ein ditipu oleh plattform syarikat yang tidak sebenar. Butiran terperinci berkenaan Plattform ini mestilah diteliti dan boleh diperolehi. Jika tidak, transaksi und a adalah syubhat dari awal lagi keran terdapat unsur gharar. B - Jika plattform tersebut punyai wibawa dan lessen serta info yang sangat mencukupi, perkara kedua adalah menilai akta-akata berkaiatan dengan aktiviti ini dari badan berwajib di Malaysia. Ini perlu bagi memastikan und a tidak terlibat dengan aktiviti menyalahi undang-undang Negara. Jika yang kedua juga lulus, saya kira transaksi jual matawang asing dan simpan dan kemudian jual semula apabila harga tukarannya naik adalah harus kerana ia secara automatiknya dilaksanakan menurut kaedah lsquospot. Namun mari kita sama-sama kuba mehami dan menyemak bagaimana proses ini dilakukan secara ringkas dan melihat pandangan Islam tentangnya. Setakat apa yang diterangkan oleh einzeln yang terlibat dan yang tahu berkenaan cara forex handel memlali internet ini. Ia seperti berikut: - 1) Ia mempunyai minimal modal. Sebagai contoh USD 1, USD 100 dan lain-lain, ia berbeza mengikut polisi syarikat forexhandel masing-masing. 2) Dengan modal itu, pihak syarikat plattform forexhandel ini akan membukakan satu akaun khas buat peserta. Setelah itu, pihak peserta akan menentukan samada untuk membuka kaunter jualan matawangnya di dalam akaun atau membuka kaunter belian. Gambaran mudahnya adalah: - Katalan modalnya USD 100 yang dibeli dengan tukaran semasa hari tersebut USD 1 RM 3.6, dan dibuka kaunter lsquoselling melalui Plattform syarikat tersebut. Seychai contoh, pada esok harinya apabila dilakukan analisa terhadap pegerakan nilai matawang, didapati nilai USD mengukuh berbanding Ringgit iaitu USD 1 RM 4 Tatkala itu, ia akan menekan Knopf jual USD 100 Dan memperolehi RM 400. Ini bermakna ia telah beroleh keuntungan sebanyak RM 40 berbanding Harga belian asalnya tadi Pihak syarikat FOREX ini MESTILAH memasukkan seluruh RM 400 itu sebaik sahaja transaksi jual beli dilakukan, TIDAK DIBENARKAN DILEWATKAN ATAU DIMASUKKAN SEBAHAGIAN SAHAJA, jany dalam contoh di atas, hanya RM 40 dimasukkan, manakala baki modal sebanyak RM 360 hanya akan dimasukkan sejurus peserta menutup akaun pada Hari tersebut Isu Scharia. Jika ini tidak berlaku, maka ia lulus dari sudut Scharia, namun jika kelewatan berlaku, isu Scharah di sini adalah berlaku penangguhan dalam penyerahan matawang ringgit. Ini menjadikan ia bercangah dengan arahan Nabi s. a.w: - Dalam menukar wang dengan wang, Nabi telah menyebut garis panduan yang mesti dipatuhi iaitu: Ertinya. Sesungguhnya Rasulullah s. a.w berkata. Pertukaran antara perak dan emas adalah riba kecuali jika ia dilakukan secara serentak (serah terima dalam satu masa) (Riwayat Muslim, Nr. 1586, 31209) Manakala pembelian secara hutang dari salah satu antara dua pihak adalah haram berdasarkan hadis: - Ertinya. Rasulullah sah melarang dari menjual emas dan perak secara berhutang (Riwayat Al-Bukhari, Nr. 2070, 2762) Imam An-Nawawi telah menyebut dengan terang bahawa para ulama telah bersepakat wajibnya syarat serah terima dalam satu masa atau lsquoTaqabud samada secara hakiki (fizikal) atau Hukmi (melalui mediuam internet tetapi punyai bukti seperti resit atau nota elektronik yang menunjukkan transaski sah) (Syarah Sohih Muslim) Cadangan. Mesti dipastikan bahawa semasa transkasi jual beli dilakukan, kesemua modal dicampur untung dimasukkan di dalam akaun kita tanpa sebarang tangguh, dan secara automatik juga kita boleh mengeluarkan wang tersebut tanpa sebarang halangan. 3) Terdapat syarikat yang mensyaratkan minimale modale yang tinggi seperti USD 1000 dan lain-lain jumlah. Untuk itu mereka menawarkan apa yang dinamakan leverage yangmana modal peserta akan digandakan. Sebagai contoh, katalah modal sebenar und a adalah USD 100. Maka und a dikehendaki memilih atau secara pilihan memlih gandaan yang dikehendaki. Seperti 1. 10 beerti modal und a akan digandakan kepada 10 kali menjadi USD 1000 atau jika memilih 1: 100, beerti modal und ein menjadi USD 10000. Dengan jumlah baru inilah matawang und ein akan di pasarkan di pasaran. Die Verwendung von verschiedenen Finanzinstrumenten oder Fremdkapital, wie Marge, um die potenzielle Rendite einer Investition zu erhöhen. Leverage kann durch Optionen, Futures, Margin und andere Finanzinstrumente geschaffen werden. Zum Beispiel, sagen Sie haben 1.000 zu investieren. Dieser Betrag könnte in 10 Aktien von Microsoft-Aktien investiert werden, aber um die Hebelwirkung zu erhöhen, könnten Sie die 1.000 in fünf Optionskontrakte investieren. Sie würden dann kontrollieren 500 Aktien anstelle von nur 10. (Rujukan) Jika Benarlah apa Yang saya gambarkan ini, transaksi forex menggunakan Leverage ini adalah HARAM kerana ia dikira menjual matawang yang tidak di dalam milik anda. Milik Sebenar und ein Hanyalah USD 100 Tetapi Yang Dijual Adalah 10.000. Ia berdasarkan apa yang krankheit oleh Nabi s. a.w. Ertinya Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak di dalam milikmu (Riwayat Abu Daud, Nr 3504, 3283) Malah saya juga hampir pasti, wang yang digandakan oleh syarikat itu dikira sebagai pemberian pinjaman dan sudah tentu mereka akan mengambil sedikit keuntungan samada diketahui atau tidak diketahui oleh peserta . Jika ini berlaku, sekali lagi riba telah berlaku Bagi mengelakkan perkara yang ditegah oleh Islam dari berlaku di sini, penggunaan Hebel 1: 1 sahaja yang dibenarkan. Wallahualam. 4) Diberitakan juga pihak syarikat menasihatkan peserta agar menggunakan modalnya kurang dari 30 bagi mengurangkan risiko semasa Handel dijalankan. Dan jika terdapat masalah kemungkinan rugi atau apa yang dinamakan margin call, pihak peserta dibenarkan untuk membuka kaunter satu lagi samada jual atau beli bagi menyeimbangkan kemungkinan rugi. Pandangan Wallahualam, jika semunya dilaksanakan dengan jelas dan perancangan yang betul. Setakat ini saya tidak nampak adanya masalah Shariah dalam tindakan ini KECUALI IA MEMPUNYAI ELEMN PERJUDISCHES YANG JELAS kerana membeli nilai matawang untuk dijual apabila nilainya naik sedangkan ia BUKAN KOMODITI. Wallahualam. Walaupun berniaga sendiri forex dan memenuhi syarat ini ADALAH HARAM kerana sebab utamanya adalah JUDI, tambahan pula ia bukanlah sesuatu yang disukai oleh polisi ekonomi di dalam Islam, pertamanya kerana menurut pandangan ekonomi dalam Islam, matawang adalah Mittel der Austausch sahaja dan ia bukanlah komoditi yang wajar Diniagakan bagi memperolehi untung dari perbezaan nilainya. Kita tahu nilai matwang kini tidak lagi bersandarkan emas atau perak, wang kertas hari ini (fiat geld) tidak mempunyai nilai tersendiri (seperti logam emas dan perak) kecuali nilainya datang dari pasaran globale yang ditentukan oleh forderung und versorgung di pasaran dunia. Justeru, menjadikan cara ini bagi memberikan anak dan Isteri makan bukanlah satu bentuk kerjaya Yang terpuji di dalam Islam. Malah ia Sebenarnya Membranen sistem kapitalis dan menguatkan sistem ekonomi yang mereka anjurkan. Justeru, Fikirkanlah. Jika anda tidak ingin menerima padnagan saya, tidak mengapa tetapi bacalah pendapat ulama besar kewangan Islam sedunia iaitu Syeikh Mufti Taqi Uthmani dalam hal ini: Forex Währung Trading Von Mufti Muhammad Taqi Usmani Posted: 11 Zul QaDah 1424, 22. November 2007 Q.) Ist Forex Währung Trading halal Ich habe ein Dokument mit den Aspekten des Unternehmens beigefügt. A.) Ich ging durch die von Ihnen geschickten Papiere. Ich bin der Meinung, dass diese Transaktionen nicht mit Scharia übereinstimmen. Die Bedingung, dass Sie die Ware nicht übernehmen können, macht es unzulässig. Vielmehr gibt es andere Elemente nach meinem Wissen, die diesen Handel in der Scharia verletzen, wie zum Beispiel Vorverkauf, Leerverkäufe usw. Dies ist neben der Tatsache, dass die Währungen ursprünglich ein Medium des Austausches sind und nur umtauscht werden sollten Persönlicher Gebrauch in verschiedenen Ländern. Um ihnen ein handelbares Gut zu machen, nur um einen Gewinn zu verdienen, ist auch gegen die Grundphilosophie der islamischen Ökonomie. Ich würde Ihnen daher nicht raten, diesen Handel zu verwöhnen. Sila Buka Sumber. Forex Trading Adakah und ein mengenali siapa Syeikh Mufti Taqi Uthmani, sila buka di sini untuk mengenalinya. Zaharuddin Abd Rahman 28 Zulhijjah 1428 ps. Semua pemain forex, nota dan jawpaan saya in in adalah jawapan yang dipermudah agar ia boleh difahami orang awam. Jika terdapat kesilapan teknik carajual dan beli, boleh dimaklumakn kepada di ruangan komentar kerana info tentang tatacara di atas juga saya perolehi dari yang terlibat. Syaa tiada masa untuk membuat pembacaan dan kajian sendiri di ketika ini. Sekian Fügen Sie diese Seite zu Ihrem bevorzugten Social Bookmarking Webseiten hinzu More. Forex Menurut Hukum Islam Banyak perbedaan pendapat tentang forex itu sendiri, ada yang mengatakan tidak boleh, tetapi ada juga yang mengatakan boleh. Dibawah ini adalah pendapat yang membolehkan dari beberapa sumber tentang forex itu sendiri (sedang untuk yang tidak membolehkan forex itu sendiri, silahkan suche Google). Fit4global. wordpress hanya memberi wacana, dan hanya fokus ke riset ilmiah tentang pergerakan forex Fit4global. wordpress memang didedikasikan untuk meriset secara logika dan ilmiah tentang pergerakan forex baik teknikal maupun grundlegend. Sebagian umat Islam ada yang meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam Apa pendapat para ulama mengenai Handel Forex, Handel saham, Handelsindex, saham, dan komoditi Apakah Hukum Forex Trading Valas Halal Menurut Hukum Islam Mari Kita ikuti selengkapnya. Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu, sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran Secara demikian itu, tak Pelak lagi, membuat fiqih Islam Sulit untuk memenuhi tuntutan jaman Yang Terus berkembang dengan perubahan-perubahannya. Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Quran, sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. Causa Gesetz atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar, ujar Dr. Syamsul Anwar, MA dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar Adalah Ketidakpastian Tentang Apakah Barang Yang Diperjual-Belikan Itu Dapat Diserahkan Atau Tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan. Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, Kendati Barangnya Sudah Ada Tapi Karena Satu Dan Lain Hal Tidak Mungkin Diserahkan Kepada Pembeli, Maka Jual Beli Itu Tidak Sah. Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Beginen juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasail almuashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer Karena itu, Status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqaI la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad. Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, Yang menyatakan Bahwa a-haqiqah fi al-ayan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik bukan dalam alam pemikiran atau alam idee Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl. Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU Nr. 321977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay al-salamajl biajil. Bucht al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bucht ajl biajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ras al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad. Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut: a) Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bucht al-salam adalah: Pihak-pihak pelaku transaksi (aqid) Yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih Objek transaksi (maqud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ras al-mal al-salam dan al-muslim fih). Kalimat transaksi (Sighat aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafiiyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, denai alasan bahwa aqd al-salam adalah bucht al-madum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (kaufen). Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (ein yakun fi jinsin malumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupiah atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, teich, dst Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi. Kejelasan jumlah harga tukar Penjelasan singkat di atas nampaknya telah dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau legale maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya. Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay al-salam. 1. Die grundlegenden Austauschkontrakte Es besteht ein allgemeiner Konsens zwischen islamischen Juristen, dass Währungen verschiedener Länder an einer Stelle mit einer anderen Rate als der Einheit ausgetauscht werden können, da Währungen verschiedener Länder unterschiedliche Einheiten mit unterschiedlichen Werten oder intrinsischen Wert sind , Und Kaufkraft. Es scheint auch eine allgemeine Vereinbarung unter einer Mehrheit der Gelehrten zu sehen, dass eine Devisenbörse auf einer Forward-Basis nicht zulässig ist, dh wenn sich die Rechte und Pflichten beider Parteien auf ein zukünftiges Datum beziehen. Allerdings gibt es bei den Juristen eine beträchtliche Meinungsverschiedenheit, wenn die Rechte einer der Parteien, die der Verpflichtung der Gegenpartei entspricht, auf ein zukünftiges Datum verschoben wird. Um zu erarbeiten, betrachten wir das Beispiel von zwei Individuen A und B, die zu zwei verschiedenen Ländern, Indien und den USA gehören. A beabsichtigt, indische Rupien zu verkaufen und U. S-Dollar zu kaufen. Das Gegenteil ist für B wahr. Der Rup-Dollar-Wechselkurs, der vereinbart wurde, ist 1:20 und die Transaktion beinhaltet den Kauf und Verkauf von 50. Die erste Situation ist, dass A eine Spotzahlung von Rs1000 nach B macht und die Zahlung von 50 von B akzeptiert Die Transaktion wird von beiden Seiten an Ort und Stelle abgewickelt. Solche Transaktionen sind gültig und islamisch zulässig. Es gibt keine zwei Meinungen über das gleiche. Die zweite Möglichkeit ist, dass die Abwicklung der Transaktion von beiden Enden auf ein zukünftiges Datum verschoben wird, sagen wir nach sechs Monaten ab sofort. Dies bedeutet, dass sowohl A als auch B nach sechs Monaten die Zahlung von Rs1000 oder 50 annehmen und akzeptieren würden. Die vorherrschende Ansicht ist, dass ein solcher Vertrag nicht islamisch zulässig ist. Eine Minderheit betrachtet es für zulässig. Das dritte Szenario ist, dass die Transaktion teilweise nur von einem Ende abgewickelt wird. Zum Beispiel macht A eine Zahlung von Rs1000 jetzt an B anstelle eines Versprechens von B, um ihm nach sechs Monaten 50 zu zahlen. Alternativ akzeptiert A jetzt 50 von B und verspricht, Rs1000 zu ihm nach sechs Monaten zu zahlen. Es gibt diametral gegenüberliegende Ansichten über die Zulässigkeit solcher Verträge, die in Währungen bai-salam sind. Der Zweck dieser Arbeit ist es, eine umfassende Analyse der verschiedenen Argumente zur Unterstützung und gegen die Zulässigkeit dieser Grundverträge mit Währungen vorzulegen. Die erste Form der Vertragsvergabe mit dem Austausch von Gegenwerten auf der Stelle ist jenseits aller Kontroversen. Zulässigkeit oder anderweitig der zweite Art des Vertrages, bei dem die Lieferung eines der Gegenwerte auf ein zukünftiges Datum verschoben wird, wird im Rahmen des Riba-Verbots allgemein erörtert. Dementsprechend besprechen wir diesen Vertrag ausführlich in Abschnitt 2, der sich mit der Frage des Verbots von Riba beschäftigt. Die Zulässigkeit der dritten Vertragsform, in der die Lieferung der beiden Gegenwerte abgegrenzt wird, wird im Rahmen der Verringerung von Risiken und Unsicherheiten oder Gharar, die an solchen Verträgen beteiligt sind, allgemein erörtert. Dies ist also das zentrale Thema von Abschnitt 3, der sich mit der Frage von gharar beschäftigt. Abschnitt 4 versucht eine ganzheitliche Sicht auf die Scharia bezieht sich auf Fragen wie auch die ökonomische Bedeutung der Grundformen des Vertrags auf dem Devisenmarkt. 2. Die Frage des Riba-Verbots Die Divergenz der Ansichten1 über die Zulässigkeit oder sonstige Wechselkontrakte in Währungen kann in erster Linie auf die Frage des Riba-Verbots zurückgeführt werden. Die Notwendigkeit, Riba in allen Formen von Devisenverträgen zu beseitigen, ist von größter Bedeutung. Riba in seinem Scharia-Kontext wird allgemein als ein rechtswidriger Gewinn definiert, der aus der quantitativen Ungleichheit der Gegenwerte in einer Transaktion abgeleitet wird, die den Austausch von zwei oder mehr Arten (anwa) bewirkt, die zu derselben Gattung gehören (jins) und regiert werden Die gleiche effiziente Ursache (illa). Riba wird allgemein in Riba al-Fadl (Überschuss) und Riba al-Nasia (Deferment) klassifiziert, die einen unzulässigen Vorteil durch Über - oder Aufschiebung bezeichnen. Das Verbot des ersteren wird durch eine Bestimmung erreicht, dass der Wechselkurs zwischen den Objekten Einheit ist und kein Gewinn für jede Partei zulässig ist. Die letztere Art von Riba ist verboten, indem sie die aufgeschobene Abwicklung nicht zulässt und dafür sorgt, dass die Transaktion von beiden Parteien an Ort und Stelle abgerechnet wird. Eine andere Form von Riba heißt Riba al-jahiliyya oder vor-islamischen Riba, die Oberflächen, wenn der Kreditgeber fragt den Kreditnehmer am Fälligkeitstag, wenn diese würde die Schulden begleichen oder erhöhen die gleiche. Die Zunahme wird begleitet von der Zinszahlung auf den ursprünglich ausgeliehenen Betrag. Das Verbot von Riba im Austausch von Währungen, die zu verschiedenen Ländern gehören, erfordert einen Analogisierungsprozeß (qiyas). Und in einer solchen Übung mit Analogie (qiyas) spielt eine effiziente Ursache (illa) eine äußerst wichtige Rolle. Es ist eine gemeinsame, effiziente Ursache (illa), die den Gegenstand der Analogie mit ihrem Subjekt in der Ausübung des analogen Denkens verbindet. Die angemessene effiziente Ursache (illa) im Falle von Devisentermingeschäften wurde von den Hauptschulen von Fiqh unterschiedlich definiert. Dieser Unterschied spiegelt sich in der analogen Argumentation für Papierwährungen, die zu verschiedenen Ländern gehören. Eine Frage von beträchtlicher Bedeutung im Prozeß der analogen Vernunft bezieht sich auf den Vergleich zwischen Papierwährungen mit Gold und Silber. In den frühen Tagen des Islam, Gold und Silber durchgeführt alle Funktionen des Geldes (Thaman). Währungen wurden aus Gold und Silber mit einem bekannten intrinsischen Wert (Quantum von Gold oder Silber in ihnen enthalten) gemacht. Solche Währungen werden als Thaman haqiqi oder naqdain in Fiqh Literatur beschrieben. Diese waren allgemein als Hauptmittel des Austausches akzeptabel, was einen großen Teil der Transaktionen ausmachte. Viele andere Rohstoffe, wie z. B. verschiedene minderwertige Metalle dienten auch als Austauschmittel, aber mit eingeschränkter Akzeptanz. Diese werden in der Fiqh-Literatur als fals beschrieben. Diese sind auch bekannt als thaman istalahi wegen der Tatsache, dass ihre Akzeptanz nicht aus ihrem intrinsischen Wert, sondern aufgrund der Status, der von der Gesellschaft während einer bestimmten Zeitspanne gegeben wird. Die beiden oben genannten Währungsformen wurden von den frühen islamischen Juristen vom Standpunkt der Zulässigkeit der Verträge, die sie betreffen, sehr unterschiedlich behandelt. Die Frage, die gelöst werden muss, ist, ob die gegenwärtigen Alterspapierwährungen unter die ehemalige Kategorie oder die letzteren fallen. Eine Ansicht ist, dass diese mit thaman haqiqi oder Gold und Silber behandelt werden sollten, da diese als das wichtigste Mittel des Austausches und der Rechnungseinheit wie die letzteren dienen. Daher sollten durch die analoge Begründung auch alle für die thaman haqiqi geltenden Scharia-bezogenen Normen und Unterlassungen auch auf Papierwährung anwendbar sein. Der Austausch von thaman haqiqi ist bekannt als bai-sarf, und daher sollten die Transaktionen in Papierwährungen von den für Bai-Seas relevanten Scharia-Regeln geregelt werden. Die gegenteilige Ansicht behauptet, dass Papierwährungen in ähnlicher Weise wie Fals oder Thaman Istalahi behandelt werden sollten, weil ihr Nennwert sich von ihrem intrinsischen Wert unterscheidet. Ihre Akzeptanz ergibt sich aus ihrer Rechtsstellung im Inland oder der Weltwirtschaft (wie zB bei US-Dollar). 2.1. Eine Synthese alternativer Ansichten 2.1.1. Analoge Begründung (Qiyas) für Riba Prohibition Das Verbot von Riba basiert auf der Tradition, dass der heilige Prophet (Friede sei mit ihm) sagte, Gold für Gold, Silber für Silber, Weizen für Weizen, Gerste für Gerste, Datum für Datum, Salz für Salz, in gleichen Mengen auf der Stelle und wenn die Waren anders sind, verkaufen, wie es Ihnen passt, aber auf der Stelle. So gilt das Verbot von Riba vor allem für die beiden Edelmetalle (Gold und Silber) und vier weitere Waren (Weizen, Gerste, Datteln und Salz). Es gilt auch analog (qiyas) auf alle Arten, die von der gleichen wirksamen Ursache (illa) regiert werden oder die zu einer der Gattungen der sechs in der Tradition zitierten Gegenstände gehören. Allerdings gibt es keine allgemeine Vereinbarung zwischen den verschiedenen Schulen von Fiqh und sogar Gelehrten der gleichen Schule auf die Definition und Identifizierung der effizienten Ursache (illa) von Riba. Für die Hanafis hat die effiziente Ursache (illa) von Riba zwei Dimensionen: die ausgetauschten Artikel gehören zu der gleichen Gattung (Jins) diese besitzen Gewicht (Wazan) oder Messbarkeit (Kiliyya). Wenn in einem gegebenen Austausch sowohl die Elemente der effizienten Ursache (illa) vorhanden sind, dh die ausgetauschten Gegenwerte gehören zu der gleichen Gattung (Jins) und sind alle abwägbar oder alle messbar, dann ist kein Gewinn zulässig (der Wechselkurs muss Gleich der Einheit sein) und der Austausch muss vor Ort sein. Im Falle von Gold und Silber sind die beiden Elemente der effizienten Ursache (illa): Einheit der Gattung (Jins) und die Gewichtbarkeit. Dies ist auch die Hanbali-Ansicht nach einer Version3. (Eine andere Version ähnelt der Ansicht von Shafii und Maliki, wie unten diskutiert wird.) Wenn also Gold für Gold ausgetauscht wird oder Silber gegen Silber ausgetauscht wird, sind nur Spot-Transaktionen ohne Gewinn zulässig. Es ist auch möglich, dass in einem gegebenen Austausch eines der beiden Elemente der effizienten Ursache (illa) vorhanden ist und das andere fehlt. Zum Beispiel, wenn die ausgetauschten Gegenstände alle abwägbar oder messbar sind, aber zu verschiedenen Gattungen gehören (Jins) oder, wenn die ausgetauschten Gegenstände zu derselben Gattung gehören (Jins), aber weder abwägt noch messbar ist, dann mit Gewinn (mit einer anderen Rate als Einheit) ist zulässig, aber die Börse muss vor Ort sein. Wenn also Gold für Silber ausgetauscht wird, kann sich die Rate von der Einheit unterscheiden, aber keine aufgeschobene Abrechnung ist zulässig. Wenn keines der beiden Elemente der effizienten Ursache (illa) von Riba in einer gegebenen Börse vorhanden ist, dann keine der Unterlassungen für Riba-Verbot gelten. Der Austausch kann mit oder ohne Gewinn stattfinden und sowohl auf einer Stelle als auch auf verzögerter Basis. In Anbetracht des Falles des Austausches mit Papierwährungen, die zu verschiedenen Ländern gehören, würde das Riba-Verbot eine Suche nach einer effizienten Ursache (illa) erfordern. Währungen, die zu verschiedenen Ländern gehören, sind klar voneinander getrennte Einheiten, die gesetzliche Ausschreibung innerhalb bestimmter geografischer Grenzen mit unterschiedlichem intrinsischen Wert oder Kaufkraft sind. Daher ist eine große Mehrheit der Gelehrten vielleicht zu Recht behaupten, dass es keine Einheit der Gattung (Jins) gibt. Darüber hinaus sind diese weder abwägung noch messbar. Dies führt zu einer direkten Schlussfolgerung, dass keines der beiden Elemente der effizienten Ursache (illa) von Rippen in einem solchen Austausch existiert. Daher kann der Austausch frei von jeglicher Verfügung über den Wechselkurs und die Art der Abwicklung erfolgen. Die Logik, die dieser Position zugrunde liegt, ist nicht schwer zu verstehen. Der intrinsische Wert der Papierwährungen, die zu verschiedenen Ländern gehören, unterscheiden sich, da diese unterschiedliche Kaufkraft haben. Darüber hinaus kann der intrinsische Wert oder Wert der Papierwährungen nicht identifiziert oder beurteilt werden, im Gegensatz zu Gold und Silber, die gewogen werden können. Daher kann weder die Anwesenheit von Riba al-Fadl (durch Überschuss) noch Riba al-Nasia (durch Deferment) festgestellt werden. Die Shafii-Schule von Fiqh betrachtet die effiziente Ursache (illa) im Falle von Gold und Silber, um ihr Eigentum zu sein, Währung (thamaniyya) oder das Medium des Austausches, der Einheit des Wertes und des Wertes zu sein. Dies ist auch die Maliki-Ansicht. Nach einer Version dieser Ansicht, auch wenn Papier oder Leder das Medium des Austausches gemacht wird und der Status der Währung gegeben wird, dann gelten alle Regeln für Naqdain oder Gold und Silber für sie. So ist nach dieser Fassung der Austausch, der Währungen verschiedener Länder mit einer anderen Rate als der Einheit einschließt, zulässig, muss aber pünktlich abgewickelt werden. Eine andere Version der oben genannten zwei Denkschulen ist, dass die oben zitierte effiziente Ursache (illa) der Währung (thamaniyya) ist spezifisch für Gold und Silber, und kann nicht verallgemeinert werden. Das heißt, jedes andere Objekt, wenn es als ein Medium des Austausches verwendet wird, kann nicht in ihre Kategorie aufgenommen werden. Daher sind nach dieser Fassung die Scharia-Unterlassungsansprüche für das Riba-Verbot nicht auf Papierwährungen anwendbar. Währungen, die zu verschiedenen Ländern gehören, können mit oder ohne Gewinn ausgetauscht werden und sowohl auf einer Spot - als auch auf einer verzögerten Basis. Die Befürworter der früheren Fassung zitieren den Fall des Austausches von Papierwährungen, die demselben Land angehören, zur Verteidigung ihrer Version. Die Konsensaussage der Juristen in diesem Fall ist, dass diese Börse ohne Gewinn oder in gleicher Höhe gleich sein muss und an Ort und Stelle abgerechnet werden muss. Was ist die Begründung, die der obigen Entscheidung zugrunde liegt Wenn man die Hanafi und die erste Version der Hanbali-Position betrachtet, dann ist in diesem Fall nur eine Dimension der effizienten Ursache (illa) vorhanden, dh sie gehören zu der gleichen Gattung (jins ). Aber Papierwährungen sind weder abwägung noch messbar. Daher würde das Hanafi-Gesetz offensichtlich den Austausch von unterschiedlichen Mengen der gleichen Währung vor Ort ermöglichen. Ähnlich, wenn die effiziente Ursache der Währung (Thamaniyya) nur für Gold und Silber spezifisch ist, dann würde das Shafii und Maliki Gesetz auch das gleiche erlauben. Unnötig zu sagen, das bedeutet, dass Riba-basierte Kreditaufnahme und Kreditvergabe erlaubt. Dies zeigt, dass es die erste Version von Shafii und Maliki dachte, die der Konsensentscheidung des Gewinnverbots und der aufgeschobenen Abrechnung im Falle des Austauschs von Währungen, die zu demselben Land gehören, zugrunde liegt. Nach den Befürwortern würde die Erweiterung dieser Logik auf den Austausch von Währungen verschiedener Länder implizieren, dass der Austausch mit dem Gewinn oder in einer von der Einheit abweichenden Rate zulässig ist (da dort keine Einheit der Jins), sondern die Abrechnung muss vor Ort sein. 2.1.2 Der Vergleich zwischen der Devisenbörse und dem Bai-Sarf-Bai-Seas ist in der Fiqh-Literatur als Austausch mit thaman haqiqi definiert, der als Gold und Silber definiert ist und als Haupttausch für fast alle größeren Transaktionen diente. Die Befürworter der Ansicht, dass jeder Wechsel von Währungen verschiedener Länder gleich ist wie Bai-Sarf, argumentieren, dass in der Gegenwart Papierwährungen Gold und Silber als Medium des Austauschs wirksam und vollständig ersetzt haben. Daher sollte der Austausch, der solche Währungen einbezieht, in gleicher Weise von denselben Scharia-Regeln und Unterlassungen wie Bai-Sei geregelt werden. Es wird auch argumentiert, dass, wenn eine aufgeschobene Abwicklung durch beide Parteien des Vertrages erlaubt ist, dies die Möglichkeiten der Riba-al Nasia eröffnen würde. Die Gegner der Kategorisierung der Währungsumrechnung mit Bai-Seas weisen jedoch darauf hin, dass der Austausch aller Formen der Währung (Thaman) nicht als Bai-Sei bezeichnet werden kann. Nach dieser Ansicht bedeutet der Bai-Seas den Austausch von Währungen aus Gold und Silber (thaman haqiqi oder naqdain) allein und nicht von Geld, das von den staatlichen Behörden (Thaman istalahi) als solches ausgesprochen wird. Die gegenwärtigen Währungswährungen sind Beispiele für letztere Art. Diese Gelehrten finden Unterstützung in jenen Schriften, die behaupten, daß, wenn die Waren des Tausches nicht Gold oder Silber sind (auch wenn einer von ihnen Gold oder Silber ist), dann kann der Austausch nicht als Bai-Sei bezeichnet werden. Auch würden die Bestimmungen über Bai-Sei nicht auf solche Börsen anwendbar sein. Nach Imam Sarakhsi4, wenn eine Einzelperson Fals oder Münzen aus minderwertigen Metallen, wie Kupfer (Thaman istalahi) für Dirhams (thaman haqiqi) kauft und macht eine Spotzahlung der letzteren, aber der Verkäufer hat keine Fals in diesem Moment , So ist ein solcher Austausch zulässig. Besitz von Waren, die von beiden Parteien ausgetauscht werden, ist keine Vorbedingung (während im Fall von Bai-Seas ist es.) Es gibt eine Anzahl ähnlicher Referenzen, die darauf hindeuten, dass die Juristen keinen Austausch von Fals (Thaman Istalahi) für andere Fälle ( Thaman istalahi) oder gold oder silber (thaman haqiqi), als bai-sarf. Daher kann der Austausch von Währungen von zwei verschiedenen Ländern, die sich nur als thaman istalahi qualifizieren können, nicht als bai-sarf kategorisiert werden. Ebenso wenig kann die Einschränkung der Spotabwicklung auf solche Transaktionen verhängt werden. Es ist anzumerken, dass die Definition von Bai-Seas Fiqh-Literatur zur Verfügung gestellt wird und in den heiligen Traditionen nicht erwähnt wird. Die Traditionen erwähnen Riba, und der Verkauf und Kauf von Gold und Silber (naqdain), die eine Hauptquelle für Riba sein kann, wird von den islamischen Juristen als Bai-Seas bezeichnet. Es ist auch anzumerken, dass in der Fiqh-Literatur der Bai-Seas den Austausch von Gold oder Silber nur impliziert, ob diese derzeit als Medium des Austausches verwendet werden oder nicht. Austausch mit Dinaren und Goldschmuck, beide Qualität als Bai-Sei. Verschiedene Juristen haben versucht, diesen Punkt zu klären und haben den Kiefer als jener Austausch definiert, in dem die beiden ausgetauschten Waren in der Natur des Thamans sind, nicht unbedingt selbst thaman. Daher wird auch dann, wenn eine der Waren Gold verarbeitet wird (sagen, Ornamente), dieser Austausch als Bai-Sarf bezeichnet wird. Die Befürworter der Ansicht, dass die Wechselstube in ähnlicher Weise wie der Bai-Sei behandelt werden sollte, leiten auch die Unterstützung von Schriften namhafter islamischer Juristen ab. Nach Imam Ibn Taimiya wird alles, was die Funktionen des Mediums des Tausches, der Rechnungseinheit und des Wertes des Wertes ausführt, Thaman genannt (nicht unbedingt auf Gold-Silber-Silber beschränkt). Ähnliche Referenzen gibt es in den Schriften von Imam Ghazzali5 Soweit die Ansichten von Imam Sarakhshi über den Austausch mit Fals besorgt sind, sind nach ihnen einige zusätzliche Punkte zu beachten. In den frühen Tagen des Islam wurden Dinare und Dirhams aus Gold und Silber meist als Medium des Austausches bei allen größeren Transaktionen verwendet. Nur die Kleinen wurden mit Fals besiedelt. Mit anderen Worten, Fals besaß nicht die Eigenschaften von Geld oder Thamaniyya in vollem Umfang und wurde kaum als Wert - oder Rechnungseinheit verwendet und war mehr in der Natur der Ware. Daher gab es keine Beschränkung für den Kauf derselben für Gold und Silber auf verzögerter Basis. Die heutigen Währungen haben alle Merkmale von Thaman und sollen nur Thaman sein. Der Austausch mit Währungen verschiedener Länder ist der gleiche wie der Bai-Sei mit dem Unterschied der Jins und daher würde die verzögerte Siedlung zu Riba al-Nasia führen. Dr. Mohamed Nejatullah Siddiqui veranschaulicht diese Möglichkeit mit einem Beispiel6. Er schreibt in einem gegebenen Augenblick in der Zeit, in der der Markttausch zwischen Dollar und Rupie 1:20 beträgt, wenn ein Einzelner 50 mit einer Rate von 1:22 kauft (Abwicklung seiner Verpflichtung in Rupien, die auf ein zukünftiges Datum verzichtet wurden) Es ist sehr wahrscheinlich, dass er ist. In der Tat, leihen Rs. 1000 jetzt anstatt eines Versprechens, Rs zurückzuzahlen. 1100 zu einem bestimmten späteren Zeitpunkt. (Da kann er Rs 1000 jetzt erhalten, den Austausch der 50 auf Kredit bei Kassakurs erwirtschaftet). So kann der Seil in zinsbasierte Kreditaufnahmeverkäufe umgewandelt werden. 2.1.3 Definition von Thamaniyya ist der Schlüssel Es scheint aus der oben genannten Synthese von alternativen Ansichten, dass die zentrale Frage scheint eine korrekte Definition von thamaniyya zu sein. Zum Beispiel bezieht sich eine grundlegende Frage, die zu abweichenden Positionen auf die Zulässigkeit führt, ob Thamaniyya für Gold und Silber spezifisch ist oder mit irgendetwas verknüpft werden kann, das die Funktionen des Geldes ausführt. Wir stellen einige Fragen auf, die in einer Übung bei der Überlegung von alternativen Positionen berücksichtigt werden können. Es sollte beachtet werden, dass Thamaniyya nicht absolut sein kann und in Grad variieren kann. Es stimmt, dass die Papierwährungen Gold und Silber als Medium des Umtauschs, Rechnungseinheit und Wertschöpfung vollständig ersetzt haben. In diesem Sinne können Papierwährungen gesagt werden, um thamaniyya zu besitzen. Dies gilt jedoch nur für inländische Währungen und gilt nicht für Fremdwährungen. Mit anderen Worten, indische Rupien besitzen thamaniyya innerhalb der geographischen Grenzen von Indien nur, und haben keine Akzeptanz in den USA. Diese können nicht gesagt werden, thamaniyya in den USA zu besitzen, es sei denn, ein US-Bürger kann indische Rupien als ein Medium des Tausches oder eine Einheit des Kontos oder Wertes speichern. In den meisten Fällen ist eine solche Möglichkeit fern. Diese Möglichkeit ist auch eine Funktion des Wechselkursmechanismus, wie zB die Konvertibilität indischer Rupien in US-Dollar, und ob ein festes oder variables Wechselkurssystem vorhanden ist. Zum Beispiel, unter der Annahme der freien Konvertibilität der indischen Rupien in US-Dollar und umgekehrt, und ein festes Wechselkurs-System, in dem die Rupie-Dollar-Wechselkurs wird nicht erwartet, dass in absehbarer Zukunft zu erhöhen oder zu verringern, ist Thamaniyya der Rupie in den USA erheblich verbessert . Das von Dr. Nejatullah Siddiqui zitierte Beispiel erscheint auch unter den gegebenen Umständen sehr robust. Erlaubnis, Rupien für Dollars auf verzögerter Basis (ab einem Ende, natürlich) mit einer Rate zu tauschen, die sich von dem Kassakurs unterscheidet (offizieller Satz, der voraussichtlich bis zum Zeitpunkt der Abwicklung festgesetzt wird) wäre ein klarer Fall von Zinsbasierten Kreditaufnahme und Kreditvergabe. Wenn jedoch die Annahme eines festen Wechselkurses entspannt ist und das gegenwärtige System der fluktuierenden und volatilen Wechselkurse als der Fall angenommen wird, dann kann gezeigt werden, dass der Fall der Riba-Al-Nasia zerbricht. Wir schreiben sein Beispiel um: In einem gegebenen Augenblick, in dem der Markttausch zwischen Dollars und Rupien 1:20 beträgt, wenn ein Einzelner 50 mit einer Rate von 1:22 kauft (Abwicklung seiner Verpflichtung in Rupien, die auf ein zukünftiges Datum verzichtet wurden ), Dann ist es sehr wahrscheinlich, dass er ist. In der Tat, leihen Rs. 1000 jetzt anstatt eines Versprechens, Rs zurückzuzahlen. 1100 zu einem bestimmten späteren Zeitpunkt. (Da kann er jetzt Rs 1000 erhalten, indem er die 50 auf Kredite am Kassakurs austauscht). Dies wäre nur so, wenn das Währungsrisiko nicht vorhanden ist (Wechselkurs bleibt bei 1:20) oder wird vom Verkäufer getragen Von Dollars (Käufer Rückzahlungen in Rupien und nicht in Dollar). Wenn der ehemalige wahr ist, erhält der Verkäufer der Dollars (Kreditgeber) eine vorgegebene Rendite von zehn Prozent, wenn er Rs1100, der am Fälligkeitstag eingegangen ist, in 55 (bei einem Wechselkurs von 1:20) umwandelt. Ist dies jedoch wahr, so ist die Rückgabe an den Verkäufer (oder der Kreditgeber) nicht vorbestimmt. Es muss nicht einmal positiv sein Zum Beispiel, wenn der Rupie-Dollar-Wechselkurs auf 1:25 ansteigt, dann würde der Verkäufer des Dollars nur 44 (Rs 1100 in Dollar umgewandelt) für seine Investition von 50 erhalten. Hier sind zwei Punkte bemerkenswert. Erstens, wenn man eine feste Wechselkursregelung annimmt, wird die Unterscheidung zwischen Währungen verschiedener Länder verwässert. Die Situation wird ähnlich wie beim Austausch von Pfund mit Sterling (Währungen des gleichen Landes) zu einem festen Zinssatz. Zweitens, wenn man ein flüchtiges Wechselkurs-System annimmt, dann kann man, wie man die Kreditvergabe durch den Devisenmarkt visualisieren kann (Mechanismus, der im obigen Beispiel vorgeschlagen wurde) auch die Kreditvergabe durch einen anderen organisierten Markt visualisieren (z. B. für Rohstoffe oder Aktien .) Wenn man im obigen Beispiel Dollars für Aktien verkauft, so lautet es wie folgt: In einem gegebenen Zeitpunkt, in dem der Marktpreis der Aktie X Rs 20 ist, kauft eine Einzelperson 50 Aktien mit dem Ratsbetrag von Rs 22 (Abrechnung von Seine Verpflichtung in Rupien auf ein zukünftiges Datum verschoben), dann ist es sehr wahrscheinlich, dass er ist. In der Tat, leihen Rs. 1000 jetzt anstatt eines Versprechens, Rs zurückzuzahlen. 1100 zu einem bestimmten späteren Zeitpunkt. (Da kann er jetzt Rs 1000 erhalten und den 50 Aktien, die auf Kredit zum aktuellen Preis erworben wurden, austauschen) Auch in diesem Fall, wie im früheren Beispiel, können Rücksendungen an den Verkäufer von Aktien negativ sein, wenn der Aktienkurs auf Rs 25 bei der Abrechnung steigt Datum. So wie die Renditen am Börsen - oder Rohstoffmarkt aufgrund des Preisrisikos islamisch akzeptabel sind, so sind die Renditen auf dem Devisenmarkt wegen der Schwankungen der Währungspreise. Ein einzigartiges Merkmal von thaman haqiqi oder Gold und Silber ist, dass der intrinsische Wert der Währung gleich seinem Nennwert ist. So ist die Frage nach verschiedenen geographischen Grenzen, in denen eine bestimmte Währung, wie z. B. Dinar oder Dirham zirkuliert, völlig irrelevant. Gold ist Gold, ob im Land A oder Land B. So, wenn die Währung des Landes A aus Gold ausgetauscht wird für die Währung des Landes B, auch aus Gold, dann jede Abweichung des Wechselkurses von der Einheit oder Stundung der Abwicklung von beiden Parteien Kann nicht erlaubt werden, da es eindeutig mit riba al-fadl und auch riba al-nasia einhergeht. Wenn jedoch die Papierwährungen des Landes A gegen die Papierwährung des Landes B ausgetauscht werden, kann der Fall ganz anders sein. Das Preisrisiko (Wechselkursrisiko), wenn positiv, würde jede Möglichkeit der Riba al-nasia im Austausch mit einer verzögerten Abrechnung beseitigen. Wenn jedoch das Preisrisiko (Wechselkursrisiko) null ist, dann könnte ein solcher Austausch eine Quelle von Riba al-nasia sein, wenn eine verzögerte Abrechnung erlaubt ist7. Ein weiterer Punkt, der ernsthafte Erwägungen verdient, ist die Möglichkeit, dass bestimmte Währungen Thamaniyya besitzen können, dh als Medium des Umtauschs, Rechnungseinheit oder Wertschöpfung weltweit sowohl im Inland als auch im Ausland genutzt werden. Zum Beispiel ist US-Dollar gesetzliches Zahlungsmittel innerhalb der USA es ist auch akzeptabel als ein Medium der Börse oder Rechnungseinheit für ein großes Volumen von Transaktionen auf der ganzen Welt. So kann diese spezifische Währung gesagt werden, dass sie thamaniyya weltweit besitzt, in welchem ​​Fall Juristen die entsprechenden Unterlassungsanordnungen auf den Austausch mit dieser spezifischen Währung verhängen können, um Riba al-Nasia zu verhindern. Die Tatsache ist, dass, wenn eine Währung thamaniyya global besitzt, dann wirtschaftliche Einheiten, die diese globale Währung als das Medium des Umtauschs, der Rechnungseinheit oder des Wertpapiers verwenden, nicht von einem Risiko aus der Volatilität der Wechselkurse zwischen den Ländern betroffen sein können. Gleichzeitig sollte anerkannt werden, dass eine große Mehrheit der Währungen nicht die Funktionen des Geldes ausübt, außer in ihren nationalen Grenzen, wo es sich um gesetzliches Zahlungsmittel handelt. Riba und Risiko können nicht im gleichen Vertrag koexistieren. Erstere nennt eine Möglichkeit der Rendite mit null Risiko und kann nicht durch einen Markt mit positivem Preisrisiko verdient werden. Wie oben diskutiert wurde, kann die Möglichkeit von Riba al-Fadl oder Riba al-Nasia im Austausch entstehen, wenn Gold oder Silber als Thaman fungieren oder wenn der Austausch Papierwährungen umfasst, die zu demselben Land gehören oder wenn der Austausch Währungen verschiedener Länder einschließt Nach einem festen Wechselkurs-System. Die letzte Möglichkeit ist vielleicht unIslamic8, da der Preis oder der Wechselkurs der Währungen freiwillig in Übereinstimmung mit den Veränderungen der Nachfrage und der Versorgung schwanken dürfen und auch weil die Preise den inhärenten Wert oder die Kaufkraft der Währungen widerspiegeln sollten. Die Devisenmärkte von heute sind durch volatile Wechselkurse gekennzeichnet. Die Gewinne oder Verluste, die auf einer Transaktion in Währungen verschiedener Länder getätigt werden, sind durch das von den Vertragspartnern getragene Risiko gerechtfertigt. 2.1.4. Möglichkeit der Riba mit Futures und Forwards Bisher haben wir Ansichten über die Zulässigkeit von bai salam in Währungen besprochen, das heißt, wenn die Verpflichtung von nur einer der Parteien der Börse aufgeschoben wird. Was sind die Ansichten der Gelehrten über die Aufschiebung der Verpflichtungen beider Parteien. Typisches Beispiel für solche Verträge sind vorwärts und futures9. According to a large majority of scholars, this is not permissible on various grounds, the most important being the element of risk and uncertainty (gharar) and the possibility of speculation of a kind which is not permissible. This is discussed in section 3. However, another ground for rejecting such contracts may be riba prohibition. In the preceding paragraph we have discussed that bai salam in currencies with fluctuating exchange rates can not be used to earn riba because of the presence of currency risk. It is possible to demonstrate that currency risk can be hedged or reduced to zero with another forward contract transacted simultaneously. And once risk is eliminated, the gain clearly would be riba. We modify and rewrite the same example: In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), and the seller of dollars also hedges his position by entering into a forward contract to sell Rs1100 to be received on the future date at a rate of 1:20, then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 dollars purchased on credit at spot rate) The seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 dollars (at an exchange rate of 1:20) for his investment of 50 dollars irrespective of the market rate of exchange prevailing on the date of maturity. Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction. For example, the individual in the above example purchases 50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell 50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10 3. The Issue of Freedom from Gharar Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exchange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. The discussion on riba prohibition draws on these views. 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Ferex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai Volumen permintaan dan penawarannya. Adanya Permintaan Dan Penawaran Inilah Yang Menimbulkan Transaksi Mata Uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul: 8212gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterimakan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh Pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. 8220Jangan kamu membeli ikan dalam Luft, karena sesungguhnya jual Beli Yang Demikian itu mengandung penipuan8221. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas8217ud) Jual Beli Barang Yang Tidak Di Tempel Transaksi Diperbolehkan Dengan Syarat Harus Diterangkan Sifat-Sifatnya Atau Ciri-Cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi Jika Tidak Sesuai Maka Pembeli Mempunyai Hak Khiyar. Artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya8221. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi etikett yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, Video Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan krankheit devisa. Misalnya eksportir Indonesien akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesien memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. Setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000 Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) Like this:Written By jaenal nurohman on Minggu, 10 Juni 2012 19.27 Investasi FOREX trading merupakan investasi yang sangat menjanjikan dimana kita bisa memperoleh profit yang cukup lumayan dalam waktu yang relatif singkat. Apalagi dengan kehadiran Broker forex online yaitu Instaforex yang memberikan jasa forex signal di internet, semakin memudahkan setiap orang untuk mendulang Gewinn di bisnis ini bahkan tanpa harus melewati upaya belajar yang terlalu lama dan tanpa harus memahami analisa teknikalmaupun grundlegende yang memusingkan kepala. Penghasilan para trader-trader forex profesional sangat dan jauh meninggalkan para pelaku-pelaku bisnis lainnya seperti para pelaku bisnis MLM dan perdagangan konvensional. Tapi kemudian banyak yang mempertanyakan kehalalan dari hasil yang diperoleh bisnis forex handel ini dikarenakan sifatnya yang abstrak dan tidak kasat mata. Sebagian umat Islam meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu, 8221 sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran Secara demikian itu, tak Pelak lagi, membuat fiqih Islam Sulit untuk memenuhi tuntutan jaman Yang Terus berkembang dengan perubahan-perubahannya. Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur8217an, sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. 8220Causa Gesetz atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar, 8221 ujar Dr. Syamsul Anwar. MA Dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar Adalah Ketidakpastian Tentang Apakah Barang Yang Diperjual-Belikan Itu Dapat Diserahkan Atau Tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan. Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, Kendati Barangnya Sudah Ada Tapi 8211 Karena Satu Dan Lain Hal 8212 Tidak Mungkin Diserahkan Kepada Pembeli, Maka Jual Beli Itu Tidak Sah. Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Beginen juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan 8212 satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa8217il almu8217ashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, Status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa8217I la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad. Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, Yang menyatakan Bahwa a-haqiqah fi al-a8217yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik bukan dalam alam pemikiran atau alam idee Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl. Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU Nr. 321977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay8217 al-salam8217ajl bi8217ajil. Bay8217 al-salam dapat diartikan sebagai berikut Al-salam atau al-salaf adalah bay8217 ajl bi8217ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra8217s al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi8217iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: 8220Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad8221. Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut. Es ist dir nicht erlaubt, Anhänge hochzuladen. Es ist dir nicht erlaubt, auf Beiträge zu antworten. Es ist dir nicht erlaubt, Anhänge hochzuladen. Es ist dir nicht erlaubt, deine Beiträge zu bearbeiten. BB-Code ist an. Smileys sind an. [IMG] Code ist an. HTML-Code ist aus. Objek transaksi (ma8217qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ra8217s al-mal al-salam dan al-muslim fih). Kalimat transaksi (Sighat 8216aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi8217iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa 8216aqd al-salam adalah bay8217 al-ma8217dum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (kaufen). Persyaratan menyangkut objek transiendi, adalah: bahwa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (ein yakun fi jinsin ma8217lumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupiah atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, teich, dst Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-8217aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi. Kejelasan jumlah harga tukar Penjelasan singkat di atas nampaknya telah dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau legale maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya. Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay8217 al-salam. Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai Volumen permintaan dan penawarannya. Adanya Permintaan Dan Penawaran Inilah Yang Menimbulkan Transaksi Mata Uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul: 8212gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. 8220Jangan kamu membeli ikan dalam Luft, karena sesungguhnya jual Beli Yang Demikian itu mengandung penipuan8221. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas8217ud) Jual Beli Barang Yang Tidak Di Tempel Transaksi Diperbolehkan Dengan Syarat Harus Diterangkan Sifat-Sifatnya Atau Ciri-Cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya8221. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi etikett yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, Video Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55.

No comments:

Post a Comment